KETIKA AIR HUJAN MENCARI SUNGAI (Fenomena Awal 2025)
Oleh : Muhamad Kundarto
Dosen UPN VETERAN Yogyakarta
Judul di atas sesuai dengan judul buku pertama yang saya terbitkan beberapa tahun lalu. Ini merupakan ungkapan keprihatinan dari fenomena yang tadinya disebut "proses alami" pada beberapa puluh tahun yang lalu, tapi dalam dekade terakhir menjadi "potensi bencana" yang menghasilkan banjir dan longsor.
Fenomena banjir menarik untuk dicermati pada kejadian di pantai utara Jawa, khususnya di tiga kawasan, yaitu sekitar Demak, sekitar Kendal, dan sekitar Jabodetabek. Cerita diawali dari dongeng geologi dari posisi hamparan Pulau Jawa yang lebih miring ke utara. Bagian selatan Jawa adalah proses penunjangan (subduction) menghasilkan pengangkatan dan desakan pelan menuju utara. Munculnya barisan gunungapi menghasilkan lereng dan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang umumnya ke arah utara. Maka pesisir utara Pulau Jawa didominasi keberadaan muara sungai dan hamparan tanah hasil sedimentasi.
Cuaca ekstrem di era perubahan iklim ini sering menghasilkan curah hujan harian di atas 150 mm, terutama dengan munculkan 2-3 siklon secara bersamaan. Curahan air hujan sangat banyak membuat daya simpan hutan, daya tampung sungai dan aliran air menuju muara menjadi sangat melimpah melebihi daya tampungnya. Awalnya air hujan menuju sungai dalam kondisi "baik-baik saja", sampai munculnya fenomena campur tangan manusia yang merambah hutan menjadi permukiman dan wisata. Berubah pula jalur sungai di kanan kiri menjadi terdesak oleh permukiman. Berubah pula situ dan embung di daerah pesisir yang diuruk menjadi permukiman dan bangunan bertingkat. Jadilah limpasan air hujan menyusuri sungai menuju muara di pesisir ini mengalami banyak hambatan. Maka makin terdengar fenomena kejadian banjir bandang dan longsor di bagina hulu, serta kejadian banjir di daerah hilir.
Kejadian banjir di sekitar Demak paling unik, karena kawasan ini dulunya merupakan selat yang memisahkan Jawa dengan Muria (Jepara). Hamparan tanah di sini cukup unik, karena di saat musim hujan berpotensi banjir, namun di saat musim kemarau berpotensi kekeringan. Konon hamparan tanah hitam retak-retak (Vertisol) berada di atas lapisan berkapur. Lempung (clay) tinggi mampu membuat genangan jadi banjir di musim hujan dan lapisan berkapur bagian bawahnya membuat tanah mudah kekeringan di musim kemarau.
Kejadian banjir di sekitar Kendal seperti beruntun berlangsung beberapa kali dalam 1-2 bulan. Kombinasi banjir kiriman dan hujan lokal menjadikan kawasan ini berlangganan banjir tiap tahun. Penanggulangan dengan pencegahan penggundulan hutan dan pembuatan bendungan belum menunjukkan hasil yang efektif. Sementara masyarakat harus berjibaku dengan dampak banjir berupa genangan air, endapan lumpur, bertebaran sampah, dan potensi timbunya wabah penyakit pasca banjir. Tindakan berupa pertolongan korban dan bantuan makanan sifatnya hanya sesaat dan belum bisa menjangkau sumber masalah kenapa terjadi banjir yang menimbulkan bencana.
Fenomena berikutnya adalah banjir di sekitar Jabodetabek. Jika laporan dari bendungan Katulampa sudah berdebit tinggi, maka kawasan Jakarta dan Bekasi harus bersiap menerima banjir dalam 3-4 jam berikutnya. Banjir yang masuk permukiman dan tempat berbelanjaan, bahkan sampai menghanyutkan mobil dan harta benda lainnya, sering menjadi berita vila di berbagai media. Namun solusi banjir dalam jangka panjang sering surut bersama surutnya banjir kembali masuk ke sungai.
Sesungguhnya kejadian longsor dan banjir bukan hanya membutuhkan solusi dari dampaknya, namun dalam jangka panjang memerlukan solusi sistematis lintas wilayah hulu sampai hilir dalam jangka panjang 20-25 tahun. Tentu ini solusi yang tidak mudah karena umumnya kebijakan sering tersandera pada kepentingan sesaat. Sudah saatnya kolaborasi dan superteam juga dipraktikkan pada penanggulangan banjir, dari pencegahan sampai dampaknya. Para pihak pemangku kepentingan dari kawasan puncak sampai pesisir perlu dilakukan "retret" agar bisa duduk bersama untuk merancang solusi "siapa berbuat apa". Tataran ilmu sudah sangat kuat. Begitu juga perundangan yang dibutuhkan. Kita saat ini hanya butuh dorongan kuat untuk implementasi realisasi di lapangan, seperti menanam pohon konservasi, memperbanyak resapan air di kawasan hulu, membuat micro-macro bendungan, mengembalikan fungsi bantaran sungai, normalisasi, penanggulangan sampah, pembuatan tanggul sampai pompanisasi. Mungkin banyak pihak mengatakan sudah melakukan. Namun hasil akhir yang belum efektif adalah bukti bahwa kita semua harus berjiwa besar untuk berbenah memperbaiki dan selalu membuat inovasi.
Semoga manfaat.
-------#KamisMenulis
Sumber foto : lingkarjateng.id
Comments