ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN MENGANCAM SWASEMBADA PANGAN
Oleh : Muhamad Kundarto
Budidaya tanaman di lahan pertanian seiring waktu dengan keputusan manusia untuk menetap di tempat tinggal masing-masing. Biasanya tempat tinggal dipilih berdekatan dengan lokasi lahan budidaya pertanian, yang notabene merupakan hamparan lahan datar atau dataran yang terbentuk dari endapan banjir di masa lalu (jenis tanah Alluvial). Perkembangan pertumbuhan manusia dari suasana berdekatan dengan hutan menjadi kawasan perdesaan dan akhirnya menjadi kawasan perkotaan.
Pengembangan wilayah yang tinggi akan semakin menekan keberadaan lahan datar tadi, dari sebelumnya merupakan kawasan budidaya tanaman pangan, berubah menjadi kawasan perkotaan dengan segala macam infrastruktur pendukungnya, yang ditandai makin banyaknya kawasan industri dan kawasan permukiman. Pada posisi inilah alih fungsi lahan pertanian menjadi sesuatu yang sulit dibendung. Namun fakta lain menyebutkan bahwa konsekuensi jumlah penduduk yang semakin bertambah adalah meningkatnya kebutuhan pada pangan. Dan pertahanan negara paling mendasar adalah ketercukupan kebutuhan pangan. Dua kepentingan yang saling memperebutkan peruntukan ruang inilah yang menjadi tantangan besar di masa kini dan mendatang, bagaimana industrialisasi berjalan tanpa tetap bisa swasembada pangan.
Mengkaji lebih mendalam terhadap kondisi di atas pada fenomena di tanah air adalah distribusi penduduk Indonesia yang tidak merata, karena 60% penduduk tinggal di Pulau Jawa. Pulau Jawa juga menjadi pusat pemerintahan, pusat ekonomi dan pusat industrialisasi. Lebih rumit lagi ternyata Pulau Jawa mempunyai lahan yang paling subur se-Indonesia karena pengaruh erupsi banyak gunungapi dan ketersediaan air permukaan yang tinggi, sehingga produktivitas tanaman pangan lebih tinggi. "Pertempuran" perebutan lahan pada ruang yang sama ini sangat terlihat di kawasan pantai utara Pulau Jawa, yang merupakan lumbung pangan nasional (food estate), tetapi juga merupakan jalur jalan tol, jalur jalan nasional dan banyaknya kawasan pesisir dari Banten sampai Surabaya yang menjadi kawasan industri. Permasalahan ini tidak bisa diselesaikan dalam lingkup lokal, tetapi butuh satu komando dari Presiden, Menteri sampai Gubernur, Bupati/Walikota, Camat dan Desa/Kelurahan.
Kita tahu bahwa gerakan masif alih fungsi lahan ini menyasar pada semua wilayah dan kawasan dengan berbagai manuver, bahkan dengan menyiasati peraturan yang ada. Misalnya ketentuan legal tentang larangan alih fungsi pada lahan berigasi teknis, dilawan dengan gerakan sistematis melibatkan para pihak untuk memutus jaringan irigasi, sehingga sawah irigasi mengalami "pengeringan" dan dianggap sah menjadi bangunan. Ada juga pengembang perumahan yang nekad menancapkan poster "tanah siap bangun" di area persawahan, karena yakin para pihak bisa dilobi untuk memuluskan perubahan menjadi perumahan. Apalagi pelanggar yang selama ini terjadi tidak mendapatkan sanksi berat, sehingga efek jera kurang maksimal. Banyak juga hamparan sawah eksisting digarap oleh petani lokal, tapi sudah berganti kepemilikan pada pihak-pihak pemegang dana besar (perusahaan, dll).
Tekanan masif juga terjadi dari perencana pengembangan wilayah, yang mempunyai asumsi bahwa lahan sawah di tepi jalan nasional, provinsi, kabupaten sampai lokal bisa "dikuningkan" (diubah menjadi kawasan ekonomi), yang dicantumkan pada peta perencanaan tata ruang wilayah dan rencana detail tata ruang. Pengurangan sawah dari lebar 60 meter, 40 meter dan 20 meter ini akan memicu dan mempercepat alih fungsi. Fakta lapangan menunjukkan keberadaan jalan raya sering sejajar dengan saluran irigasi dan sawah produktif. Jika lokasi saluran irigasi ini berubah menjadi kawasan ekonomi (pertokoan, permukiman), maka air irigasi akan berpotensi tercampur sampah dan tumpahan limbah rumah tangga. Sehingga saluran irigasi semakin rusak. Ditambah lagi beberadaan bangunan akan memicu alih fungsi sawah di belakang bangunan secara masif pula.
Kita juga sering melegalkan alih fungsi pada sawah yang posisinya terjepit diantara bangunan. Mari kita tengok proses awalnya, dimana hamparan sawah ini ditumbuhi 1-2 bangunan di tepi jalan. Lalu bangunan berkembang makin meluas. Sawahpun banyak beralih fungsi dan menyisakan beberapa petak. Lalu dengan mudah kita mengubahnya menjadi bangunan.
Fenomena di atas seperti gambaran "anak ayam mati di lumbung padi". Artinya, kita kurang menghargai potensi besar mempunyai tanah subur untuk lumbung pangan. Sehingga begitu mudah merusaknya karena merasa masih ada pangan dan perut masih kenyang. Dalam skala nasional, hilangnya pangan ini sudah ditandai dengan besarnya impor pangan dari negara lain. Jika kondisi ini dibiarkan, maka nasib perut bangsa ini tergantung pada kiriman pangan dari bangsa lain. Ini tentu sangat berbahaya untuk kedaulatan bangsa. Maka gerakan menuju swasembada pangan perlu didukung dan dilaksanakan secara sistematis dan kokoh, agar ketersediaan pangan untuk generasi masa depan tetap terjamin dengan baik.
---------
Sumber gambar : nusabali.com
Comments